Selasa, 03 September 2019

Indonesia Semangat Dunia

Indonesia Semangat Dunia 

Makna koleksi seni rupa Istana Kepresidenan bisa ditilik dari berbagai macam sudut pandang, sebagaimana sudah kita lihat dalam pameran-pameran yang telah diselenggarakan dalam tiga tahun ini.

Pameran pertama yang diselenggarakan tahun 2016, Goresan Juang Kemerdekaan, menampilkan karya-karya yang sebagian besar memperlihatkan tema perjuangan dan juga karya-karya ikonik yang lain. Memang, pada awalnya, karya-karya seni dengan tema perjuangan menjadi menarik untuk membentuk koleksi republik yang baru meraih kemerdekaannya melalui perjuangan fisik. 

Bumi pertiwi dan aspek-aspek kehidupan berkaitan dengan tanah air, yang banyak menjadi subyek karya-karya seni rupa dalam koleksi Istana Kepresidenan, ditampilkan dalam pameran Senandung Ibu Pertiwi tahun 2017. Pameran tersebut dibagi menjadi empat subtema: keragaman alam, dinamika keseharian, tradisi dan identitas, serta mitologi dan religi. Keempat aspek tersebut ditampilkan melalui beragam karya seni. Banyak diantaranya adalah lukisan yang menggambarkan keindahan alam Indonesia yang kerap digolongkan sebagai lukisan Mooi Indie. Namun pameran tersebut juga menampilkan mazhab-mazhab seni rupa yang lain, termasuk karya-karya abstrak dan realisme sosial yang muncul dan berkembang dalam sejarah seni rupa Indonesia. 

Pameran ketiga diadakan tahun 2018 bersamaan dengan penyelenggaraan Asian Games ke-18. Aspek-aspek usaha keras serta kerjasama dan kooperasi yang baik, juga persaingan yang sehat dan sportivitas,  merupakan pokok-pokok utama dalam perhelatan olahraga yang menginspirasi tema “semangat” untuk pameran kali ini. Beberapa karya seni koleksi Istana Kepresidenan selaras dengan tema “semangat” yang ingin dibangun. Jika Asian Games ke-18 merupakan perhelatan olahraga, pameran seni rupa  koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia menjadi perhelatan olah rasa yang diharapkan dapat memperkaya pengalaman masyarakat Indonesia maupun tamu yang hadir di Jakarta pada bulan Agustus 2018 ini. 
Lukisan-lukisan terpenting suatu negara seringkali menggambarkan kisah-kisah perjuangan yang mengekspresikan semangat suatu bangsa itu. Hal itu dapat dilihat dalam lukisan-lukisan sejarah pada abad ke-19, seperti La Liberté guidant le peuple (Dewi Liberte [Kemerdekaan] Memimpin Rakyat), yang dilukis pelukis Romantik termasyur Eugène Delacroix tahun 1830. Lukisan ini  mengingatkan pemirsanya akan semangat Revolusi Prancis tahun 1789 yang menggelorakan perjuangan kemerdekaan rakyat dalam semangat persaudaraan dan kesetaraan. Selain itu, ada pula lukisan berjudul Washington Crossing the Delaware yang menggambarkan penyeberangan Jenderal George Washington melintas sungai Delaware dengan tentara Kontinental pada hari Natal, 25 Desember 1776. Jenderal Washington memimpin pasukannya dalam serangan mendadak menumpas tentara bayaran Hessian Jerman yang dikontrak Inggris untuk melawan Amerika Serikat di  Trenton, New Jersey. 
Namun tentunya bukan lukisan-lukisan bertemakan kepahlawanan saja yang bisa menunjukkan semangat sebuah bangsa. Semangat perjuangan dapat juga diekspresikan melalui metafora, mitologi, legenda, bahkan fabel. Selain itu, semangat bangsa juga tidak terbatas pada aspek perjuangan saja. Banyak semangat-semangat lain yang pada masa ini sangat penting untuk dimiliki demi majunya sebuah bangsa dan negara. Pameran koleksi seni rupa Istana Kepresidenan kali ini menampilkan beberapa aspek semangat di antaranya: semangat perjuangan/kemerdekaan,  keragaman, kerjasama, kreativitas, globalisasi, dan masa depan. 


Perjuangan bangsa yang bersatu dalam keragaman 
Kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 merupakan bagian dari perjalanan sejarah yang cukup panjang. Pendirian organisasi Boedi Oetomo, 20 Mei 1908, menandai dimulainya pergerakan nasionalis yang kemudian dikenal sebagai “Hari Kebangkitan Nasional.” Dua puluh tahun setelah itu, Kongres Pemuda Kedua pada 28 Oktober 1928 memutuskan: 

Pertama:
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.

Kedoea:
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

Ketiga:
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.


Tiga butir keputusan itu kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda; sebuah pernyataan bahwa pemuda dari berbagai daerah berikrar untuk bersatu sebagai bangsa Indonesia yang menganggap tanah airnya sebagai negara Indonesia dan menggunakan bahasa pemersatu yaitu bahasa Indonesia. Perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak dapat dipisahkan dari keberagaman bangsa kita, yang terdiri dari lebih dari tiga ratus kelompok etnis yang tinggal di sekitar delapan ribu dari lebih dari tiga belas ribu pulau Nusantara ini. Persatuan dalam keberagaman itulah yang merupakan makna dari Bhinneka Tunggal Ika, semboyan negara kita. 

Perjuangan kemerdekaan Indonesia seringkali dilukiskan dalam lukisan sejarah yang menggambarkan kisah perjuangan pada masa Perang Revolusi (1945-1949), seperti yang dapat dilihat pada lukisan Tak Seorang Berniat Pulang, Walau Maut Menanti (1963) karya Rustamadji, serta potret Jenderal Sudirman karya Joes Soepadyo (1954), dan Pejuang (1949) karya Trubus Soedarsono. Ketika ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta mulai tahun 1946 akibat perang, seniman-seniman Indonesia banyak memulai melukis potret-potret pejuang dari berbagai daerah sebagai upaya untuk membentuk sejarah pergerakan nasional di Indonesia. Pameran ini menghadirkan tiga di antaranya: Dr. Tjipto Mangunkusumo karya Soerono, Muhammad Husni Thamrin karya Sudarso, dan Tuanku Imam Bonjol karya Harijadi Sumadidjaja.  Potret para tokoh dan pejuang dari berbagai daerah dihadirkan di dalam pameran ini di antara lukisan anggota masyarakat dari kelompok etnis dan lapisan sosial yang beragam: ada lukisan pemuda Lampung dan petani Toraja serta potret-potret perempuan dari berbagai kalangan.  

Mitos dan legenda terkadang juga digunakan untuk mengekspresikan perjuangan kemerdekaan, sebagaimana dapat dilihat dalam dua kisah penculikan Sinta oleh Rahwana yang menjadi perlambang kolonialisme oleh para penjajah. Walaupun banyak muncul interpretasi bahwa binatang-binatang yang digambarkan Raden Saleh dimaksudkan sebagai pernyataan patriotisme nasionalnya, namun perjuangan lelaki Badawi dalam Perkelahian dengan Singa (1870) sepertinya lebih memperlihatkan semangat perjuangan pribadinya mempertahankan hidup. 

Perjuangan suatu bangsa untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan memungkinkan warganya untuk dapat dengan bebas melanjutkan perjuangan pribadinya, mencapai sasaran cita-cita mereka masing-masing. Hal ini digambarkan oleh karya Sang Penombak (1958) dari pematung Argentina, Roberto Juan Capurro, dan lukisan Memanah (1944) karya Henk Ngantung. Keragaman yang bersatu melahirkan bangsa yang merdeka, lalu kemerdekaan memberi rakyat ruang dan peluang mengembangkan daya. 

Bergotong-royong, bersama mencipta-karya 
Tradisi kehidupan bermasyarakat di Indonesia tidak lepas dari semangat yang dikenal dengan gotong-royong. Di seluruh Indonesia, rakyat bekerja bergotong-royong, bahu membahu untuk membuahkan hasil yang lebih besar dibandingkan bekerja secara individu tanpa ada kerjasama satu sama lain. 

Sukarno mendefinisikannya: 

Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perdjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Rojong!

Sebagai intisari dari sikap persatuan kebangsaan, pandangan kesejahteraan bersama serta keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa,  gotong-royong memiliki makna sangat penting dalam kehidupan masyarakat kita. Bahkan, Sukarno sempat menyebutnya sebagai Ekasila, intisari dari Pancasila. 

Dengan menggunakan pendekatan estetis yang berbeda-beda, para perupa melukiskan dinamika keseharian dari para nelayan dan petani yang bergotong-royong demi kebutuhan dan kebahagiaan bersama. Hasil karya mereka senantiasa mengingatkan kita betapa pentingnya kerjasama bahu membahu itu. 

Dalam kehidupan bermasyarakat, kemerdekaan seorang warga tidak terpisahkan dari ketergantungannya dengan warga yang lain. Tiap warga punya peran masing-masing, dan kerja sama mereka dapat membuahkan hasil yang tidak mungkin tercapai jika tidak dipikirkan, direncanakan dan dikerjakan secara bersama-sama. Pertunjukan tari Saman-Seudati, pergelaran wayang kulit, ataupun tarian Pakarena, hanya bisa terlaksana jika semua pemerannya bekerja sama dan berkoordinasi sehingga hasilnya terharmonisasi dengan baik. 

Terinspirasi suatu aspirasi terbentuknya suatu bangsa yang merdeka, Wage Rudolf Supratman mulai menggubah lagu Indonesia Raya pada tahun 1924. Sukarno menulis pemikiran-pemikirannya tentang perempuan dan hubungannya dengan perjuangan bangsa Indonesia dalam buku Sarinah yang terbit tahun 1960-an. Di dunia modern, karya cipta memang seringkali merupakan buah tangan individual. Namun, kesuksesan produksi dan distribusinya tentunya ditentukan seberapa baik upaya kerjasama pihak-pihak yang dibutuhkan untuk ikut terlibat di dalamnya. Kita menjunjung hak cipta, namun gotong-royong dan kerjasama tetap diperlukan untuk mendukung keberhasilan cipta karya yang sebaik-baiknya. 


Menjadi warga dunia menyongsong masa depan 

Suatu bangsa dan negara tidak dapat lagi mengisolasikan dirinya atau merasa dirinya lebih hebat dari negara-negara lain di dunia. Mau tidak mau suatu bangsa harus melihat dirinya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari dunia global. “Tetapi tanah air kita Indonésia hanja satu bahagian ketjil sadja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini!” seru Sukarno. Beliau juga mengingatkan bahwa Gandhi menyatakan,”kebangsaan saya adalah perikemanusiaan” (“My nationalism is humanity“). 

Dalam seni rupa, batasan kebangsaan digantikan oleh nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Hal ini jelas terlihat pada patung Pejuang Soviet, Sang Pembebas kaya Yevgeny Vuchetich yang memperlihatkan seorang perwira Soviet menyelamatkan anak perempuan Jerman dari kekuasaan Nazi. 

Di masa damai perupa bereksplorasi lebih jauh lagi melampaui batasan kebangsaannya. Karya perupa Shinsui Itō dalam koleksi Istana Kepresidenan, menggambarkan wanita penari Bali, berbeda dari karya-karyanya yang lain. Perupa yang pernah ditempatkan di Indonesia semasa pendudukan Jepang ini rupanya diminta untuk kembali mengunjungi Indonesia untuk berkarya. Sebaliknya, perupa Basuki Abdullah melukiskan perempuan-perempuan dari berbagai negara. Demikianlah semangat para perupa menyongsong masa depan dengan internasionalisme, menuju kesetaraan, persaudaraan dan perdamaian dunia. 

Banyak dari karya yang menjadi koleksi Istana Kepresidenan merupakan bagian dari upaya diplomasi budaya, baik dari negara sahabat kepada Indonesia maupun sebaliknya. Karya-karya seni ciptaan perupa mancanegara yang ditampilkan dalam pameran ini ada yang merupakan pemberian kepala negara atau kepala pemerintahan negara sahabat kepada Presiden Sukarno, dan ada pula yang diketahui dipesan oleh Presiden Sukarno sebagai apresiasinya kepada karya seni perupa negara sahabat itu. Lukisan Menanam Padi (1951) karya Fernando Amorsolo merupakan hadiah Presiden Filipina Elpidio Quirino tahun 1951, sedang patung Sang Penombak (1958) karya Roberto Juan Capurro merupakan kenang-kenangan dari Presiden Argentina Dr. Arturo Frondizi tahun 1959. Dalam kunjungannya ke Hongaria tahun 1960 dan 1961, Presiden Sukarno mengunjungi studio Zsigmond Kisfaludi Stróbl dan memesan patung Pemanah dan belasan patung lainnya. Karena apresiasi yang ditunjukkan oleh Sukarno, pada tahun 1963 sang pematung membuat patung Perempuan Indonesia (Indonéz nő). Tokoh-tokoh yang terlibat dalam upaya diplomasi budaya itu telah lama meninggalkan kita, tapi karya-karya seninya masih terus menjadi peringatan atas persahabatan antar bangsa itu. Terbukti, vita brevis, ars longa (“hidup itu singkat, sedang seni itu langgeng”)!

Pameran Indonesia Semangat Dunia menampilkan 45 karya seni buah tangan 34 perupa. Karya-karya seni yang merupakan koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia ini merupakan cerminan dari suatu negara dengan semangat perjuangan, semangat kemerdekaan, semangat keragaman, dan semangat gotong royong. Semangat mendunia ini melampaui nasionalisme yang patriotik dan sempit karena menjunjung tinggi kemanusiaan, menyeluruh dan maju, serta memandang ke masa depan yang damai dan cerah. Itulah semangat Indonesia; Indonesia adalah semangat dunia. 


Indonesia Semangat Dunia

Indonesia Semangat Dunia  Makna koleksi seni rupa Istana Kepresidenan bisa ditilik dari berbagai macam sudut pandang, sebagaimana sudah ...